Minggu, 27 September 2009

''pharmacy apotek''

Berawal pada proses dialektika yang
tak terlihat ujung dan pangkalnya,
bahwa dunia farmasis saat ini masih
berada dalam lingkaran abu-abu
(belum jelas arahnya). Semenjak
Firaun masih bujang sampai
sekarang, kita terus disibukkan
dengan diskusi tentang eksistensi
farmasis Indonesia. Pertanyaan
yang sangat mendasar sekarang ini
sebenarnya “perlu gak sih” farmasis
di Indonesia? Kalau memang perlu
kenapa sampai sekarang farmasis
hanya sekedar simbol tanpa peran?
Di mana sebenarnya nilai strategis
dari peran seorang farmasis? Apakah
hanya sebagai penjual obat? Atau kita
sebenarnya memiliki peran yang
lebih dari itu? Tapi kenapa selama ini
kita hanya diam melihat realitas
kondisi dunia kefarmasian, khusunya
posisi apoteker yang semakin kabur
dalam melakukan peran
penyembuhan pasien
Farmasis atau apoteker merupakan
salah satu dari 5 profesi kesehatan
yang diakui dalam UU Kesehatan
No.23 tahun 1992. Kontras dengan
fakta tersebut, pernah terjadi suatu
kasus, yaitu ketika ada seorang
apoteker lulusan salah satu
perguruan tinggi farmasi terkemuka
di tanah air ,yang ingin melanjutkan
studi S2 ke Fakultas Kedokteran
Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat di Universitas yang
sama, mengalami kegagalan dalam
menempuh usahanya tersebut.
Setelah beberapa saat, ternyata
diketahui penyebab kegagalannya
adalah bahwa beliau tidak diakui
sebagai profesi kesehatan, di mana
untuk dapat kuliah S2 di program
studi terebut, persyaratan
utamanya adalah lulusan profesi
kesehatan. Sungguh suatu
kenyataan yang sangat
menyudutkan posisi profesi
farmasis di antara profesi kesehatan
yang lain.
Selain studi kasus di atas, terdapat
beberapa kejanggalan pada
perangkat peraturan-perundangan
kita yang menyangkut pelayanan
kefarmasian. Salah satunya adalah
definisi resep berdasarkan UU yang
sama, di mana resep didefinisikan
sebagai permintaan tertulis dari
seorang dokter kepada apoteker. Dari
redaksional yang digunakan tampak
secara kasat mata bahwa peran
apoteker dalam melayani pasien
hanya sebatas memenuhi
permintaan dokter untuk dispensing
obat kepada pasien. Di sini tampak
seolah-olah dokter lah yang paling
tahu tentang pemilihan jenis obat
yang digunakan, dosis yang harus
diberikan, adverse reaction&drugs
interaction yang mungkin terjadi,
lama terapi, efek samping yang
mungkin timbul, dan sebagainya.
Padahal farmasis selama menempuh
masa studinya selalu bergelut
dengan hal-hal tentang obat-obatan
tersebut. Ditambah lagi jika kita
menilik UU Perlindungan Konsumen,
di situ disebut-sebut tentang
perlunya second opinion dari profesi
kesehatan lainnya selain dokter
dalam pemberian pelayanan
kesehatan kepada pasien. Di sini jelas
bahwa farmasis seharusnya
memiliki peran yang sejajar dengan
dokter dalam memberikan
pelayanan kesehatan kepada pasien.
Jika mencermati realita yang ada
tentang peran, fungsi, dan posisi
farmasis sebagai profesi kesehatan
yang kini tampak belum
menunjukkan tajinya di masyarakat,
maka dapat ditarik suatu benang
merah tentang penyebab terjadinya
hal ini, yaitu lack of self confidence.
Kelemahan terbesar profesi farmasis
adalah bahwasanya farmasis masih
belum pe-de dalam berinteraksi
dengan profesi kesehatan lainnya.
Sumber ketidak pe-de an ini
ditengarai dari maha luasnya ilmu
farmasis yang jika tidak
dimonovalenkan maka akan
mengakibatkan farmasis hanya akan
menguasai outer skin dari multi
disiplin ilmu kefarmasian yang
mencakup ilmu kimia, fisika,
sistematika tumbuhan, anatomi dan
fisiologi manusia, farmakologi,
interaksi obat, bioavailabilitas dan
bioekivalensi, toksikologi,
bioteknologi, teknologi formulasi,
sampai ilmu psikologi dan sosial
tentang komunikasi massa,
farmakoekonomi, dan manajemen,
yang seharusnya dikuasai. Hal ini
ditambah lagi heterogennya stake
holders lulusan profesi farmasis,
yaitu dari bidang industri, farmasi
komunitas dan klinik, pemerintahan,
dan lain-lain, yang dirasa makin
menyulitkan penyusunan
Competence Based Curriculum
sebagai dasar profesionalisme
profesi farmasis. Kenyataan tentang
luasnya bidang pekerjaan farmasis ini
menjadikan para farmasis merasa
sudah berada di zona nyaman (baca:
farmasis pro status quo), tanpa
menyadari bahwa sebenarnya kita
bisa berada pada keadaan yang jauh
lebih baik daripada yang ada saat ini.
Maraknya fenomena Apoteker TeKab
(Teken Kabur-red), makin
mengkerdilkan peran, fungsi dan
posisi profesi apoteker di
masyarakat
ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia) kini telah
merekomendasikan konsep No
Pharmacist No Service (No and No) di
apotek-apotek sebagai solusi untuk
merevitalisasi peran farmasis
sebagai profesi kesehatan. Artinya
APA (Apoteker Pengelola Apotek)
harus stand by di Apotek selama jam
buka apotek. Dalam suatu
kesempatan, saya berhasil
mendapatkan informasi dari rekan
mahasiswa farmasi di salah satu
perguruan tinggi farmasi di DIY
(Daerah Istimewa Yogyakarta)
tentang hasil konferensi daerah BPD
ISFI DIY. Ada beberapa hal yang
patut kita ketahui tentang kebijakan
yang dikeluarkan dalam komperda
ISFI DIY, yaitu :
1. Implementasi standar kompetensi
Farmasis Indonesia, melalui ;
a. pelatihan kontinu terhadap
anggota
b. menjalin komunikasi dengan
APTFI untuk mempersiapkan
farmasis
sesuai dengan kompetensinya
c. Sosialisasi standar kompetensi
keseluruh farmasis indonesia melalui
media
d. melakukan uji kompetensi
terhadap farmasis, uji kompetensi
akan
diujicobakan bulan oktober 2005 dan
akan diberlakukan awal tahun 2006
2. Menegakkan PP 25 tahun 1980
tentang pengelolaan apotek, "apabila
apoteker berhalangan hadir pada jam
buka apotek maka apoteker harus
menunjuk apoteker pendamping"
3. Dalam wilayah No Farmasis No
Service, apoteker harus melakukan
konseling selama apotek buka,
jumlah apoteker tiap apotek minimal
2
untuk 12 jam buka/hari, untuk 24
jam buka/hari minimal ada 4 orang
apoteker
4. Sanksi pelanggaran ditegakkan
oleh Majelis Pembina Etika Apoteker
Daerah berupa teguran lisan, teguran
tertulis, mengusulkan dilakukan
penutupan sementara, dicabut
rekomendasinya.
5. Untuk kesejahteraan apoteker,
maka standar jasa profesi APA
minimal
1 juta dan standar jasa Apoteker
pendamping 750 ribu
Konsep No Pharmacist No Service
(baca: No and No) adalah suatu
keharusan jika farmasis ingin lebih
eksis sebagai profesi kesehatan.
Dalam rangka mendukung hal ini
maka diperlukan Law Enforcement
yang tegas dari pemerintah dan ISFI,
selain peraturannya sendiri yang
harus proporsional, yang tidak
hanya mewajibkan No&No kepada
farmasis beserta sanksi2nya jika ada
pelanggaran , tapi juga
memperhatikan kesejahteraan
farmasis. Kerangka Competence
Based Curriculum yang homogen
dari APTFI dan diterapkan oleh PTF
negeri maupun swasta juga sangat
diperlukan, karena nantinya ilmu
farmasis akan lebih termonovalen-
kan, salah satunya dalam bidang
Pharmaceutical care, sehingga tidak
canggung lagi dalam memberikan
counselling terhadap pasien. Patut
diperhatikan pula kampanye Konsep
No&No terhadap masyarakat yang
bertujuan agar timbul kesadaran
bahwa dokter bukanlah decision
maker tunggal dalam diagnosa
pasien, tapi juga memerlukan second
opinion dari profesi kesehatan
lainnya, dalam hal ini farmasis
(berdasarkan UU perlindungan
Konsumen). Dengan adanya
kampanye Konsep No&No kepada
masyarakat, maka diharapkan
masyarakat akan enggan dilayani di
apotek jika sang farmasis/apoteker
berhalangan hadir. Kampanye ini juga
harus dilakukan kepada mahasiswa-
mahasiswa farmasi program profesi
pada khususnya dan program S-1
pada umumnya. Agar apa? Agar
muncul kesadaran sejak dini bahwa
farmasis, meskipun notabene
merupakan broad spectrum
occupation, namun juga merupakan
profesi kesehatan yang harus
melayani masyarakat, terutama di
apotek.
Oleh karena itu, mahasiswa farmasi
Indonesia sebagai calon-calon
farmasis masa depan dan sebagai
agent of change harus bergerak
secara nyata dalam merevitalisasi
peran, fungsi, dan posisi farmasis
sebagai profesi kesehatan.
Mahasiswa secara nyata mengambil
langkah yang tepat dengan
mendukung konsep No Pharmacist
No Service (No and No) di apotek-
apotek. Mahasiswa dapat melakukan
langkah konkret dalam inisiasi awal,
sosialisasi, dan pemantauan
pelaksanaan konsep No and No ini di
masyarakat. Para akademisi (baca:
dosen) bersama-sama dengan ISFI
harus melakukan public warning
kepada mahasiswa farmasi yang
notabene merupakan farmasis masa
depan, para praktisi kefarmasian di
apotek, rumah sakit dan klinik-klinik.
Satu hal yang pasti adalah farmasis di
bumi Indonesia ini sedang berevolusi
menuju suatu gerbang transformasi
ke arah perbaikan. Dan pemikiran
akan perubahan tidak akan terwujud
tanpa ada usaha dan kerja riil. Dengan
dasar komitmen yang kuat dari ISFI
dan seluruh farmasis se-tanah air,
didukung kontribusi dari berbagai
stakeholders kefarmasian
(pemerintah, APTFI, masyarakat,
dan lain-lain), serta dibingkai dalam
keyakinan akan keridhoan Tuhan
Yang Maha Esa, semoga profesi
farmasis dapat sejajar dengan
profesi kesehatan lainnya dan
memberikan sumbangsih yang
nyata dalam memberikan pelayanan
kesehatan pada umumnya, dan
pelayanan kefarmasian pada
khususnya…semoga..!!

3 komentar: